About Me

Foto saya
Saya berJiLbab,, Sopan,, Cuek,, Baik,,

Senin, 28 November 2011

Mengelola Konflik Organisasi


S
etiap organisasi pasti sudah tidak asing lagi dengan sebuah permasalahan yang sering mereka hadapi dan mereka sering menyebutnya sebagai sebagai suatu konflik. Konflik yang mereka hadapi juga bermacam – macam, dari konflik yang kecil hingga konflik yang sangat besar. Konflik juga tidak hanya di rasakan oleh sebuah organisasi saja tapi sebagai individu kita juga pernah mengalami suatu konflik baik dalam lingkungan keluarga, lingkungan kuliah, lingkungan kerja dan lain sebagainya. Namun dalam tulisan ini saya akan lebih membahas mengenai konflik yang terjadi dalam suatu organisasi.

Pengertian Konflik dan Konflik Organisasi
Konflik (conflict) adalah sebuah proses yang dimulai ketika satu pihak memiliki presepsi bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara negatif atau akan mempengaruhi secara negatif sesuatu yang menjadi kepedulian atau kepentingan pihak pertama. Sedangkan Konflik Organisasi sendiri adalah suatu masalah yang timbul di lingkungan organisasi baik masalah yang kecil maupun masalah yang besar. Pastinya tidak ada masalah tanpa sebab, demikian juga tidak ada konflik jika tidak ada sebab yang menimbulkan konflik tersebut. Konflik dalam berorganisasi itu tidak selalu bersifat negatif, karena konflik bisa dijadikan sebuah alasan agar suatu organisasi menjadi lebih baik lagi. Konflik organisasi ini dapat juga kita bedakan melalui dua buah pandangan yang berbeda. Dua pandangan berbeda tersebut yaitu pandangan Tradisional dan pandangan Interaksi/Interaksionis.

Pandangan Tradisional
Pendekatan paling awal mengenai konflik adalah berpandangan bahwa semua konflik itu merupakan hal / peristiwa yang buruk. Konflik dipandang secara negatif dan digunakan sebagai persamaan dari istilah-istilah seperti kekerasan, kerusakan, dan irasionalitas, sekedar untuk memperkuat konotasi negatif. Konflik dari definisinya saja sudah berbahaya dan harus dihindari. Pandangan tradisional (traditional) ini sejalan dengan sikap yang dianut banyak orang menyangkut perilaku kelompok pada tahun 1930-an dan 1940-an. Konflik dipandang sebagai akibat disfungsional dari komunikasi yang buruk, tidak adanya keterbukaan dan kepercayaan antaranggota, serta ketidakmampuan para manajer untuk tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi karyawan mereka.
Pandangan bahwa semua konflik buruk tentu saja merupakan sebuah pendekatan sederhana dalam mengamati perilaku orang yang menciptkan konflik. Karena semua konflik harus dihindari, kita hanya perlu mengarahkan perhatian pada sebab-sebab konflik serta mengoreksi kesalahan ini untuk memperbaiki kinerja kelompok dan organisasi. Meskipun saat ini studi-studi penelitian memberikan bukti yang kuat untuk menolak bahwa pendekatan terhadap berkurangnya konflik menghasilkan kinerja kelompok yang tinggi, namun banyak di antara kita yang masih mengevaluasi situasi konflik menggunakan standar yang sudah usang semacam ini.

Pandangan  Interaksionis
Pandangan interaksionis (interactionist) atau interaksi mendorong munculnya konflik dengan dasar pemikiran bahwa sebuah kelompok yang harmonis, damai, tenang, dan kooperatif biasanya menjadi statis, apatis, serta tidak tanggap terhadap perlunya perubanhan dan inovasi. Karena itu, sumbangan terbesar pandangan interaksionis adalah mendorong para pemimpin kelompok untuk mempertahankan terjadinya tingkat konflik minimum dimana cukup untuk menjaga kelompok tetap biasa bekerja, kritis terhadap diri sendiri, sekaligus kreatif.
Pandangan interaksionis tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa semua konflik adalah baik. Hal ini karena beberapa konflik memang biasa mendukung pencapaian tujuan kelompok dan memperbaiki kinerjanya yaitu bentuk-bentuk konflik yang fungsional (fungtional) dan konstrukstif. Selain itu, terdapat konflik-konflik yang menghambat kinerja kelompok yaitu bentuk-bentuk konflik yang difungsional (dysfungional) dan destruktif. Dalam hal ini tentu kita dapat membedakan konflik fungsional dengan konflik disfungsional, bukti yang perlu diperhatikan adalah pada jenis konfliknya. Secara spesifik ada tiga tipe konflik yaitu tugas, hubungan, dan proses.
Maka dari penjelasan kedua pandangan tersebut dapat saya simpulkan perbedaan dari pandangan tradisional dan pandangan interaksionis adalah dalam pandangan tradisional konflik dipandang dan diyakini bahwa semua konflik berbahaya dan harus kita hindari karena konflik akan membawa pengaruh yang buruk. Sedangkan pandangan interaksionis atau interaksi dipandang atau diyakini bahwa semua konflik bukan hanya merupakan suatu tindakan yang positif dalam sebuah organisasi tetapi juga merupakan suatu kepercayaan yang mutlak bagi sebuah organisasi untuk mencapai kinerja yang lebih baik. Jadi pandangan tradisional menganggap konflik adalah hal yang sangat buruk sedangkan pandangan interaksionis konflik dianggap sebagai hal yang baik dan positif bagi suatu organisasi.
Konflik tugas (task conflict) berhubungan dengan muatan dan tujuan pekerjaan. Konflik hubungan (relationship conflict) berfokus pada hubungan antarpersonal. Konflik proses (process conflict) berhubungan dengan bagaimana suatu pekerjaan dilaksanakan. Penjelasan tersebut menunjukan bahwa konflik hubungannya hamper sealu bersifat disfungsional, hal ini karena Gesekan atau permusuhan anatarpersonal yang melekat di dalam konflik hubungannya mempertajam pertentangan kepribadian dan mengurangi rasa saling perhatia,yang pada gilirannya menghambat penyelesaiaan tugas-tugas organisasi. Namun, tingkat konflik proses dan tingkat konflik tugas yang rendah sampai sedang bias menjadi konflik fungsional. Agar produktif, konflik proses harus dijaga tetap dalam tingkat yang rendah. Perdebatan yang tajam dan panas mengenai siapa yang harus melakukan apa, akan menjadi disfungsional ketika hal itu justru menciptakan ketidakpastian mengenai peran tugas masing-masing anggota, memperpanjang waktu penyelesaian tugas, dan menyebabkan para anggota harus mengerjakan tugas-tugas yang menumpuk. Tingkat konflik tugas yang rendah sampai sedang selalu memperlihatkan efek positif pada kinerja kelompok karena memancing munculnya ide-ide segar dan baik yang membantu kinerja kelompok menjadi lebih baik.

Sumber-Sumber Utama Penyebab Konflik
Masalah muncul pasti memiliki sebab, begitu pula dengan konflik pasti memiliki penyebab yang menimbulkan konflik tersebut. Menurut Robbins (1996), konflik muncul karena ada kondisi yang melatar-belakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut juga disebut sebagai sumber terjadinya konflik. Kondisi ini terdiri dari tiga ketegori yaitu  Komunikasi, Struktur, dan Variabel Pribadi. Pada penjelasannya sumber utama penyebab konflik adalah :

  1. Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi yang menimbulkan kesalah-pahaman antara pihak-pihak yang terlibat, dapat menjadi sumber konflik. Suatu hasil penelitian menunjukkan bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan gangguan dalam saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi dan menjadi kondisi ini akan menciptakan konflik. Pengertian struktur dalam hal ini digunakan dalam artian yang mencakup ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, dan derajat ketergantungan antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya konflik. Makin besar kelompok, dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya konflik.

  1. Karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu, misalnya, individu yang sangat otoriter, dan menghargai rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial. Jika salah satu dari kondisi tersebut terjadi dalam kelompok, dan para anggota menyadari akan hal tersebut, maka munculah persepsi bahwa di dalam kelompok terjadi konflik. Keadaan ini disebut dengan konflik yang dipersepsikan (perceived conflict). Kemudian jika individu terlibat secara emosional, dan mereka merasa cemas, tegang, frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict). Selanjutnya, konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku. Misalnya, serangan secara verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik, huru-hara, pemogokan, dan sebagainya.

  1. Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan. Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata ini dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial, sebab dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya. Misalnya, ketika berlangsung pentas musik di lingkungan pemukiman, tentu perasaan setiap warganya akan berbeda-beda. Ada yang merasa terganggu karena berisik, tetapi ada pula yang merasa terhibur.

  1. Budaya di dunia ini beraneka ragam dengan perbedaan latar belakang kebudayaan tersebut tentu akan membentuk pribadi-pribadi yang berbeda. Seseorang sedikit banyak akan terpengaruh dengan pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya. Pemikiran dan pendirian yang berbeda itu pada akhirnya akan menghasilkan perbedaan individu yang dapat memicu konflik.

  1. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh sebab itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Kadang-kadang orang dapat melakukan hal yang sama, tetapi untuk tujuan yang berbeda-beda.


Teknik-Teknik Utama Memecahkan Konflik
Konflik timbul karena ada penyebabnya, maka pasti kita dapat mencari jalan keluar dan memecahkan konflik tersebut sehingga pada lingkungan organisasi ini kita wajib untuk menguasai dan memahami cara memecahkan suatu konflik. Pada penjelasan ini saya akan menjelaskan mengeanai 4 teknik memecahkan masalah yaitu :
  1. Integrating (Problem Solving). = Dalam teknik ini pihak-pihak yang berkepentingan secara bersama-sama mengidentifikasikan masalah yang dihadapi, kemudian mencari, mempertimbangkan dan memilih solusi alternatif pemecahan masalah. Gaya ini cocok untuk memecahkan isu-isu kompleks yang disebabkan oleh salah paham (misunderstanding), tetapi tidak sesuai untuk memecahkan masalah yang terjadi karena sistem nilai yang berbeda. Kelemahan utamanya adalah memerlukan waktu yang lama dalam penyelesaian masalah.
  2. Dominating (Forcing). = Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya kepedulian terhadap kepentingan orang lain, mendorong seseorang untuk menggunakan taktik “saya menang, kamu kalah”. Gaya ini sering disebut memaksa (forcing) karena menggunakan legalitas formal dalam menyelesaikan masalah. Gaya ini cocok digunakan jika cara-cara yang tidak populer hendak diterapkan dalam penyelesaian masalah, masalah yang dipecahkan tidak terlalu penting, dan waktu untuk mengambil keputusan sudah mepet. Tetapi tidak cocok untuk menangani masalah yang menghendaki partisipasi dari mereka yang terlibat. Kekuatan utama gaya ini terletak pada minimalnya waktu yang diperlukan. Kelemahannya, sering menimbulkan kejengkelan atau rasa berat hati untuk menerima keputusan oleh mereka yang terlibat.
  3. Avoiding. = Taktik menghindar (avoiding) cocok digunakan untuk menyelesaikan masalah yang sepele atau remeh. Gaya ini tidak cocok untuk menyelesaikan masalah - malasah yang sulit atau “buruk”. Kekuatan dari strategi penghindaran adalah jika kita menghadapi situasi yang membingungkan atau mendua (ambiguous situations). Sedangkan kelemahannya, penyelesaian masalah hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan pokok masalah.
  4. Compromising. = Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang secara seimbang memadukan antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Ini merupakan pendekatan saling memberi dan menerima (give-and-take approach) dari pihak-pihak yang terlibat.Kompromi cocok digunakan untuk menangani masalah yang melibatkan pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda tetapi memiliki kekuatan yang sama. Misalnya, dalam negosiasi kontrak antara buruh dan majikan. Kekuatan utama dari kompromi adalah pada prosesnya yang demokratis dan tidak ada pihak yang merasa dikalahkan. Tetapi penyelesaian konflik kadang bersifat sementara dan mencegah munculnya kreativitas dalam penyelesaian masalah.

Sumber Dari:
  • Stephen P. Robbins – Timothy A. Judge,  Perilaku Organisasi (Organizational Behavior), (ed.12). Salemba Empat.
  • Gibson, James L., et al., 1977. Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses. Alih bahasa oleh Adriani. Jakarta: Binarupa Aksara.
  • Greenhalgh, Leonard, 1999. “Menangani Konflik”. Dalam A.Dale Timpe, (Ed.), Memimpin Manusia. Alih bahasa oleh Sofyan Cikmat. Jakarta: PT.Gramedia.
  • http://id.wikipedia.org/wiki/Konflik